Judul: Rumah Tuhan Selalu Terbuka (Kumpulan Tasawuf Amanah)
Penulis: Arman Arroisi
Bahasa: Indonesia
Kulit Muka: Soft Cover
Tebal: 254 Halaman
Berat Buku: 210 g
Penerbit: Pustaka Kartini
Tahun: Cetakan Pertama, Juli 1988
Kondisi: Cukup (BUKU BEKAS/Kondisi fisik sesuai foto)
Harga: Rp. 20.000,-HABIS
Sinopsis
Memang ada tangga untuk mendatangi rumah Tuhan. Akan tetapi tangga itu kita sendiri yang membuatnya, yakni ketika dihati aib dan cacat masih bersitegar dan kita belum mampu membersihkannya sama sekali.
Sebetulnya Rumah Tuhan selalu terbuka. Ia menunggu kita dengan setia. Bahkan ia datang mencari kita, mencintai kita. Pada angin yang bertiup mengawinkan serbuk jantan dan betina. Pada hujan yang turun menghidupkan tanah gersang. Pada detak jantung sepanjang kita menempuh kehidupan maya. Pada rahmat melimpah setelah kita diantarkan ke pemakaman dengan ampunan-Nya.
Oh Tuhan. Engkau tidak bertabir. kami yang telah merentangkan tabir itu sehingga wajah-Mu begitu samar. Kami tidak melihat keindahan-Mu karena mata batin kami yang penuh jelaga. Pada diri kami bercokol tiga macam cela; aib nafsu, aib hati dan aib ruh.
Aib nafsu adalah segala rangsangan yang menyebabkan kesenjangan diri dengan iman, manakala syahwat lahiriyah menginginkan makanan serba lezat, minuman serba nikmat, tempat tinggal serba mewah, kekayaan melimpah ruah, dan hasrat birahi tak kunjung puas.
Aib hati ialah syahwat kalbu yang mendambakan pangkat tinggi, kehormatan diatas yang lain, kedudukan abadi, didukung oleh sifat angkuh, dengki, kesumat dan serakah.
Aib ruh merupakan maksiat didalam jiwa, yang kaitannya menyangkut syahwat batin, pada waktu seorang ahli ibadah tidak ikhlas dalam amalnya. pada waktu ahli tasawuf mengharapkan keramat dan keajaiban mengiringi langkahnya, pada waktu sembahyang tahajud dilakukan untuk mendapatkan kelebihan duniawi.
Rasulullah SAW menyatakan lewat salah satu haditsnya :
“Seandainya syaithan tidak lagi melingkari hati orang beriman, pasti mereka akan bisa melihat kerajaan langit.”
Ibnu Athaillah As-Sukandari dalam kitabnya Al-Hikam mengatakan :
“Tuhan sang maha benar tidak memasang hijab dari penglihatanmu. Sesungguhnya penutup itu adalah dirimu sendiri sehingga engkau tidak dapat memandang-Nya. Lantaran jika ada sesuatu yang bisa melindungi dia berarti dinding itu punya kekuatan untuk menutupinya. Dan kalau bagi-Nya ada penutup niscaya bagi wujud-Nya ada pembatas. Sedangkan pembatas bagi sesuatu merupakan sesuatu lainnya yang lebih perkasa. Padahal Allah gagah perkasa diatas hamba-hamba-Nya.”
Karena itu para abdi Allah yang menuntut kehidupan khawashul khawas (tingkat pertama dalam keikhlasan ibadah) pasti akan melihat Allah dalam berbagai jelmaan yang terpampang pada pancaran kekuasaan-Nya. seperti diutarakan oleh Amir bin Abdul Qais, “Tiadalah aku melihat sesuatu kecuali Allah lebih dekat kepadaku daripada sesuatu yang kulihat itu.”
Namun lebih banyak manusia yang sudah pikun sebelum berusia lanjut. sebab yang dikerjakan justru perbuatan yang sia-sia, malah yang merugikan dirinya dan mengancam keselamatannya.
Dengan susah payah manusia bersungsang sumbal mengumpulkan harta. Setelah tertimbun dan belum sempat dimanfaatkan, harta itu meninggalkannya akibat dirampok atau tertimpa bencana alam. Kadang si pemilik yang meninggalkannya, karena dibunuh oleh perampok yang merampas kekayaannya.
Dengan menyingkirkan atau mencelakakan kawan seiring, seseorang berusaha merebut kedudukan atau pangkat “terhormat“. Ketika tiba dipuncak, ternyata sekadar untuk diseret dari singgasananya dengan penuh kehinaan dan direndahkan.
Acapkali manusia tidak sadar bahwa perjalanannya menempuh titian waktu dari tahun ke tahun bukan untuk menggapai lebih sempurna, melainkan kekalahan diujung penghabisan, tatkala ajal merenggut nyawanya.
Konon ada seorang nenek bernama Rauthah. ia memintal benang dan merajutnya menjadi sulaman yang indah. Ketika sudah selesai, sulaman itu dibongkarnya kembali menjadi benang terurai. Ia lalu tertawa terbahak-bahak memandangi benangnya yang berantakan. Kemudian dengan cermat dan hati-hati dirapikannya lagi lantas dirajutnya pula menjadi sulaman lebih indah. Namun setelah siap, kembali dibongkarnya. Dan ia tertawa lebih menggila menyaksikan benangnya yang berhamburan. Itulah perumpamaan manusia yang tidak menyadari akan kesia-siaan daya upayanya, apabila tidak untuk keabadian diseberang sana, jika tidak untuk kesejahteraan dialam sana.
Karena itu para shufi berusaha mencari kekayaan dan kebahagiaan yang hakiki dengan menempuh dua jembatan, at-tazkiyah dan at-tahliyah.
At-tazkiyah (pembersihan) atau disebut pula at-takhliyah (artinya menghampakan) ialah upaya menghilangkan semua kekotoran dan penyakit hati yang dapat merusak diri dan perbuatan yang akan bisa menjadi noda berkelanjutan andaikata dibiarkan.
At-Tahliyah (artinya menempatkan) yaitu upaya menghiasi diri dengan akhlakul karimah, atau budi pekerti mulia, agar manusia dapat kembali sesuai fitrahnya, selaku al-insaanul kaamil (manusia seutuhnya).
Penulis: Arman Arroisi
Bahasa: Indonesia
Kulit Muka: Soft Cover
Tebal: 254 Halaman
Berat Buku: 210 g
Penerbit: Pustaka Kartini
Tahun: Cetakan Pertama, Juli 1988
Kondisi: Cukup (BUKU BEKAS/Kondisi fisik sesuai foto)
Harga: Rp. 20.000,-HABIS
Sinopsis
Memang ada tangga untuk mendatangi rumah Tuhan. Akan tetapi tangga itu kita sendiri yang membuatnya, yakni ketika dihati aib dan cacat masih bersitegar dan kita belum mampu membersihkannya sama sekali.
Sebetulnya Rumah Tuhan selalu terbuka. Ia menunggu kita dengan setia. Bahkan ia datang mencari kita, mencintai kita. Pada angin yang bertiup mengawinkan serbuk jantan dan betina. Pada hujan yang turun menghidupkan tanah gersang. Pada detak jantung sepanjang kita menempuh kehidupan maya. Pada rahmat melimpah setelah kita diantarkan ke pemakaman dengan ampunan-Nya.
Oh Tuhan. Engkau tidak bertabir. kami yang telah merentangkan tabir itu sehingga wajah-Mu begitu samar. Kami tidak melihat keindahan-Mu karena mata batin kami yang penuh jelaga. Pada diri kami bercokol tiga macam cela; aib nafsu, aib hati dan aib ruh.
Aib nafsu adalah segala rangsangan yang menyebabkan kesenjangan diri dengan iman, manakala syahwat lahiriyah menginginkan makanan serba lezat, minuman serba nikmat, tempat tinggal serba mewah, kekayaan melimpah ruah, dan hasrat birahi tak kunjung puas.
Aib hati ialah syahwat kalbu yang mendambakan pangkat tinggi, kehormatan diatas yang lain, kedudukan abadi, didukung oleh sifat angkuh, dengki, kesumat dan serakah.
Aib ruh merupakan maksiat didalam jiwa, yang kaitannya menyangkut syahwat batin, pada waktu seorang ahli ibadah tidak ikhlas dalam amalnya. pada waktu ahli tasawuf mengharapkan keramat dan keajaiban mengiringi langkahnya, pada waktu sembahyang tahajud dilakukan untuk mendapatkan kelebihan duniawi.
Rasulullah SAW menyatakan lewat salah satu haditsnya :
“Seandainya syaithan tidak lagi melingkari hati orang beriman, pasti mereka akan bisa melihat kerajaan langit.”
Ibnu Athaillah As-Sukandari dalam kitabnya Al-Hikam mengatakan :
“Tuhan sang maha benar tidak memasang hijab dari penglihatanmu. Sesungguhnya penutup itu adalah dirimu sendiri sehingga engkau tidak dapat memandang-Nya. Lantaran jika ada sesuatu yang bisa melindungi dia berarti dinding itu punya kekuatan untuk menutupinya. Dan kalau bagi-Nya ada penutup niscaya bagi wujud-Nya ada pembatas. Sedangkan pembatas bagi sesuatu merupakan sesuatu lainnya yang lebih perkasa. Padahal Allah gagah perkasa diatas hamba-hamba-Nya.”
Karena itu para abdi Allah yang menuntut kehidupan khawashul khawas (tingkat pertama dalam keikhlasan ibadah) pasti akan melihat Allah dalam berbagai jelmaan yang terpampang pada pancaran kekuasaan-Nya. seperti diutarakan oleh Amir bin Abdul Qais, “Tiadalah aku melihat sesuatu kecuali Allah lebih dekat kepadaku daripada sesuatu yang kulihat itu.”
Namun lebih banyak manusia yang sudah pikun sebelum berusia lanjut. sebab yang dikerjakan justru perbuatan yang sia-sia, malah yang merugikan dirinya dan mengancam keselamatannya.
Dengan susah payah manusia bersungsang sumbal mengumpulkan harta. Setelah tertimbun dan belum sempat dimanfaatkan, harta itu meninggalkannya akibat dirampok atau tertimpa bencana alam. Kadang si pemilik yang meninggalkannya, karena dibunuh oleh perampok yang merampas kekayaannya.
Dengan menyingkirkan atau mencelakakan kawan seiring, seseorang berusaha merebut kedudukan atau pangkat “terhormat“. Ketika tiba dipuncak, ternyata sekadar untuk diseret dari singgasananya dengan penuh kehinaan dan direndahkan.
Acapkali manusia tidak sadar bahwa perjalanannya menempuh titian waktu dari tahun ke tahun bukan untuk menggapai lebih sempurna, melainkan kekalahan diujung penghabisan, tatkala ajal merenggut nyawanya.
Konon ada seorang nenek bernama Rauthah. ia memintal benang dan merajutnya menjadi sulaman yang indah. Ketika sudah selesai, sulaman itu dibongkarnya kembali menjadi benang terurai. Ia lalu tertawa terbahak-bahak memandangi benangnya yang berantakan. Kemudian dengan cermat dan hati-hati dirapikannya lagi lantas dirajutnya pula menjadi sulaman lebih indah. Namun setelah siap, kembali dibongkarnya. Dan ia tertawa lebih menggila menyaksikan benangnya yang berhamburan. Itulah perumpamaan manusia yang tidak menyadari akan kesia-siaan daya upayanya, apabila tidak untuk keabadian diseberang sana, jika tidak untuk kesejahteraan dialam sana.
Karena itu para shufi berusaha mencari kekayaan dan kebahagiaan yang hakiki dengan menempuh dua jembatan, at-tazkiyah dan at-tahliyah.
At-tazkiyah (pembersihan) atau disebut pula at-takhliyah (artinya menghampakan) ialah upaya menghilangkan semua kekotoran dan penyakit hati yang dapat merusak diri dan perbuatan yang akan bisa menjadi noda berkelanjutan andaikata dibiarkan.
At-Tahliyah (artinya menempatkan) yaitu upaya menghiasi diri dengan akhlakul karimah, atau budi pekerti mulia, agar manusia dapat kembali sesuai fitrahnya, selaku al-insaanul kaamil (manusia seutuhnya).
0 comments:
Post a Comment